Selasa, 27 Maret 2012

Kebijakan Fiskal Dan Moneter

BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN (SEJARAH PERKEMBANGAN EKONOMI : KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN MONETER INDONESIA 1983-2001)

Latar Belakang

Ilmu Ekonomi Makro adalah ilmu yang membahas masalah tingkat laku perekonomian secara keseluruhan, seperti tingkat kemakmuran, keluaran barang dan jasa, total perekonomian, laju pertumbuhan dan lain-lain. Ia juga sangat berkepentingan terhadap masalah peningkatan output dan lapangan kerja sepanjang waktu tertentu. Untuk mempelajari kondisi perekonomian secara keseluruhan, makro ekonomi memusatkan perhatian kepada perilaku dan kebijakan ekonomi yang dapat mempengaruhi kondisi tersebut, seperti perilaku konsumsi, investasi, faktor penentu perubahan, kebijakan fiskal dan moneter, stok uang beredar, APBN, suku bunga dan utang pemerintah.

Ilmu Ekonomi Makro tidak hanya menarik karena ia membahas berbagai masalah penting, tetapi juga sangat menantang dan merangsang, karena ia dapat mengurangi kadar kompleksitas yang terkandung di dalam perekonomian ke tingkat yang mudah dikendalikan. Esensi ini terletak pada interaksi antar barang, tenaga kerja dan pasar modal dari perekonomian antar negara yang saling menggalang hubungan perdagangan timbal balik. Untuk membahas esensi tersebut, tidak perlu bersusah payah memusatkan perhatian terlalu rinci terhadap tingkah laku individual seperti rumah tangga dan perusahaan atas proses penentuan harga pada pasar-pasar tertentu, karena ini lebih tepat untuk dijelaskan melalui ekonomi mikro.

Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa makro ekonomi berhubungan dengan penentuan keluaran ekonomi, tingkat harga, suku bunga dan variabel lainnya yang dinamakan dengan perhitungan pendapatan nasional. Pendapatan nasional ini dinamakan dengan NP (National Product) atau Produk Nasional. NP ini akan diasumsikan sama dengan pendapatan total yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara dan juga sama dengan pengeluaran total. Kondisi ini dinamakan skedul equillibrium pasar barang dan jasa, atau kebijakan fiskal (fiscal policy) yang disimbolkan dengan kurva IS (IS Curve).

Likuiditas uang beredar, harga barang dan jasa serta Bank Sentral di Indonesia, direpresentasikan oleh Bank Indonesia (BI) dan tidak mendapat tempat dalam model penentuan pendapatan. Namun, kenyataannya uang mempunyai peranan penting dalam penentuan pendapatan dan tenaga kerja. Suku bunga menjadi faktor penting dalam pengeluaran agregat, Bank Sentral serta kebijakan moneter. Kebijakan ini akan disimbolkan dengan LM Curve (Kurva LM).

Tulisan ini akan mencoba menganalisis keseimbangan (Equillibrium) antara pasar barang (IS) dan pasar uang (LM) untuk kasus di Indonesia. Metodologi penelitian yang dilakukan adalah studi literatur dengan menggunakan data yang dikeluarkan oleh BI, ADB (Asian Development Bank) dan BPS. Keluaran yang diinginkan dari tulisan ini adalah sejarah perkembangan kebijakan fiskal dan moneter sejak tahun 1983 – 2001.

Perumusan Masalah
Untuk melihat efektifitas dari sebuah kebijakan perekonomian di Indonesia, maka harus dilihat titik keseimbangan (equillibrium) antara kurva IS dan kurva LM. Titik keseimbangan ini tidak dapat hanya dilihat dari satu tahun saja, melainkan untuk kurun waktu tertentu. Keluaran dari bentuk-bentuk kurva ini dapat dilihat dari data-data sekunder yang telah ada. Namun, akan muncul beberapa pertanyaan, yaitu :
  1. Bagaimana bentuk struktur model perekonomian Indonesia sesungguhnya ?
  2. Apakah pengaruh struktur model perekonomian Indonesia terhadap realitas sehari-hari ?
  3. Pengaruh-pengaruh apa saja yang terjadi dari turun/naiknya kurva tersebut ?
  4. Apakah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sudah tepat dalam menangani kebijakan makro ekonomi ?
Batasan Masalah
Tulisan ini akan membatasi permasalahan pada :
  1. Analisa Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia dari tahun 1983 – 2001.
  2. Mencari Model Kebijakan Fiskal dan Moneter dari data-data sekunder.
  3. Melihat Efektifitas Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia pada kurun waktu tersebut.
Dalam tulisan ini terdapat beberapa asumsi, seperti variabel P (harga) dalam LM curve = 1 dan i adalah suku bunga SBI yang diambil dari suku bunga per 30 hari.

  
BAB II TEORI

2.1. Landasan Teori
2.1.1. Kebijakan Otonomi Daerah
Salah satu fenomena paling menonjol dari hubungan antara sistem pemerintah
daerah dengan pembangunan adalah ketergantungan daerah yang sangat tinggi
terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan.
Daerah kehilangan keleluasaan bertindak (local discretion) untuk mengambil
keputusan-keputusan penting dan adanya campur tangan pemerintah pusat yang
tinggi terhadap daerah. Menurut Allen (dalam Kuncoro, 2004: 3), tumbuhnya
perhatian terhadap desentralisasi tidak hanya dikaitkan dengan gagalnya perencanaan
terpusat dan populernya strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with
equity), tetapi juga adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang
kompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak dapat dengan mudah dikendalikan dan
direncanakan dari pusat. Karena itu dengan penuh keyakinan para pelopor
desentralisasi mengajukan sederetan panjang alasan dan argumen tentang pentingnya
desentralisasi dalam perencanaan dan administrasi dunia ketiga. Mardiasmo (2004:
97) mengatakan, berdasarkan pengamatan dan analisis para pakar diperoleh
kesimpulan bahwa, sesungguhnya tuntutan yang mendesak dalam perluasan otonomi
ada tiga pokok permasalahan. Pertama, sharing of power; kedua, distribution of
income; ketiga, kemandirian sistem manajemen di daerah.
 
Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik
dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.
Pilihan terhadap desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat, baik secara
teoritis maupun secara empiris. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan daerah otonom.
Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu
terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya dan tetap menjadi
kewenangan pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya
kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Menurut Sidik et.al
(2004: 9), desentralisasi tidak berarti memberikan kewenangan penuh tanpa batas
kepada pemerintah daerah, yaitu pemerintah pusat pada tingkat terakhir yang
bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan kepada masyarakat.
Mardiasmo (2004: 97) mengatakan, pemberian otonomi hendaknya jangan
sekedar jargon politik semata sebagaimana pada masa-masa sebelumnya. Ketidak
seriusan pemerintah dalam memberikan otonomi dapat menimbulkan efek negatif
yang lebih parah lagi karena masyarakat sudah terlalu lama menunggu. Tim Asistensi
Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2008: 60) menegaskan,
desentralisasi sendiri tidak boleh dianggap selesai, bahkan apabila urusan pembagian
kewenangan dan keuangan antardaerah sudah dianggap beres. Keberhasilan
desentralisasi harus diukur dari kemampuan pemerintah daerah yang lebih mandiri
dalam menyejahterakan masyarakat lokal sekaligus menjamin hak-hak politiknya
2.1.2. Sumber Pendapatan Pemerintah Daerah
Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Pembentukan undang-undang tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas
penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah. Pendanaan tersebut menganut
prinsip money follows function, yang mengandung makna bahwa pendanaan
mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masingmasing
tingkat pemerintahan. Kadjatmiko (dalam Halim, 2007: 194) mengatakan,
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang
didasarkan pada azas desentralisasi, daerah diberikan kewenangan untuk memungut
pajak dan retribusi (tax assignment) serta bantuan keuangan (grant transfer) atau
dikenal dengan dana perimbangan. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pasal 5
ayat 2 menjelaskan, Pendapatan daerah bersumber dari: 1) Pendapatan Asli Daerah;
2) Dana Perimbangan; dan 3) Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah.
2.1.2.1. Pendapatan asli daerah
Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang
diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan (UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1, ayat 18). Sumber
Pendapatan Asli Daerah, diperoleh dari: a) Pajak Daerah; b) Retribusi Daerah;
c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d) Lain-lain PAD yang
sah. Pendapatan Asli Daerah bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah
sebagai perwujudan desentralisasi. Sidik et.al (2004: 77) menegaskan, secara utuh
desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa untuk mendukung
penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, kepada
daerah diberikan kewenangan untuk memberdayakan sumber keuangan sendiri dan
didukung dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kewenangan untuk
memberdayakan sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah PAD yang sumber
utamanya adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Idealnya suatu perimbangan
keuangan pusat dan daerah terjadi apabila setiap tingkat pemerintahan independen
dalam bidang keuangan untuk membiayai pelaksanaan tugas dan wewenang masingmasing.
Artinya PAD menjadi sumber pendapatan utama atau dominan, sementara
subsidi atau transfer dari tingkat pemerintah pusat merupakan sumber penerimaan
pendukung atau tambahan yang peranannya tidak dominan. PAD merupakan salah
satu sumber pembiayaan pemerintahan daerah yang peranannya sangat tergantung
kemampuan dan kemauan daerah dalam menggali potensi yang ada di daerah.
Menurut Kaho (2007: 136), salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata
kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah self
supporting dalam bidang keuangan. Faktor keuangan merupakan faktor esensial
dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi
daerahnya.
 
Menurut Halim (2007: 1997), pemerintah daerah menghadapi dilema, di satu
sisi mereka harus meningkatkan terus jumlah PAD-nya untuk mengimbangi semakin
meningkatnya kebutuhan biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan,
di sisi lain potensi di daerah yang bisa dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah
relatif kecil. Sidik et.al (2004: 77) juga mengatakan, sebagai rangkaian dari
pengalihan kewenangan sebagai wujud pelaksanaan otonomi daerah, dukungan
pembiayaan yang memadai akan menjadi syarat utama guna mencapai hasil optimal.
Ketergantungan yang tinggi terhadap penerimaan dari pemerintah pusat disatu sisi
dan rendahnya peranan PAD dalam penerimaan daerah di satu sisi membawa
konsekuensi terhadap rendahnya kemampuan PAD dalam membiayai pengeluaran
daerah. Kondisi ini tentu saja sangat menyulitkan pemerintah daerah untuk
melaksanakan otonomi secara nyata. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang
Desentralisasi Fiskal (2008: 44) menjelaskan, rendahnya penerimaan pajak dan
retribusi daerah ditunjukkan oleh data tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 bahwa
kontribusi PAD terhadap APBD hanya kurang dari 10%. Peranan PAD yang relatif
kecil menyebabkan penerimaan pemerintah daerah baik secara langsung maupun
tidak langsung sangat tergantung pada transfer dari pemerintah pusat.
Menurut Kuncoro (2004: 13), setidaknya ada lima penyebab utama rendahnya
PAD yang pada gilirannya menyebabkan tingginya ketergantungan terhadap subsidi
dari pusat, yaitu: 1) kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber
pendapatan daerah; 2) tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan. Semua
pajak utama yang paling produktif dan buoyant baik pajak langsung dan tak
 
langsung, ditarik oleh pusat; 3) kendati pajak daerah cukup beragam ternyata hanya
sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan; 4) bersifat politis, adanya
kekhawatiran apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi maka ada
kecendrungan terjadi disintegrasi dan separatisme; 5) kelemahan dalam pemberian
subsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sidik et.al (2004: 75)
mengatakan, selama ini rendahnya PAD dalam struktur penerimaan daerah
disebabkan karena sumber-sumber yang masuk dalam ketagori PAD umumnya bukan
merupakan sumber potensial bagi daerah. Sumber-sumber potensial di daerah sudah
diambil sebagai sumber penerimaan pemerintah pusat, sehingga yang tersisa di
daerah hanya sumber-sumber penerimaan yang kurang potensial. Dalam hal yang
sama Kumorotomo (2008: 364) mengatakan, karena pajak-pajak yang memberi hasil
tinggi tidak didesentralisasikan, kontinuitas kebijakan yang lain ialah bahwa
ketergantungan daerah kepada bantuan pemerintah pusat masih tetap tinggi seperti
ditunjukkan oleh besarnya persentase DAU di dalam anggaran pemerintah daerah.
Sedangkan Bird dan Vaillancourt (2000: 165) berpendapat, sentralisasi perpajakan
juga didorong oleh tujuan untuk mengurangi kesenjangan antar daerah akibat
perbedaan pada besarnya sumber-sumber pajak. Walaupun tujuan-tujuan ini cukup
beralasan dan penting, perlu juga untuk mempertimbangkan upaya-upaya
memperluas pilihan-pilihan pajak daerah, yang sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut.
Sistem perpajakan yang sangat sentralistis ini merupakan alasan mengapa pemerintah
daerah tidak dapat melakukan pembiayaan sendiri, dan demikian kecilnya porsi
penerimaan sendiri dalam struktur pengeluaran mereka. Sidik et.al (2004: 79)
menegaskan, ketimpangan perbandingan antara PAD sebagai pendapatan lokal
dengan pendapatan luar daerah berupa dana perimbangan sebagai transfer dari pusat
dalam komponen pendapatan APBD menjadi masalah yang kritis. Jika pemerintah
daerah terjebak untuk segera meningkatkan PAD secara drastis maka upaya
peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah menjadi pilihan, dan hal tersebut
berarti akan mengurangi peluang daerah untuk meraih investasi dan semakin
menambah beban masyarakat dan para investor. Namun, apabila pemerintah daerah
terlambat untuk meningkatkan PAD maka semakin jauh harapan kemandirian daerah
akan tercapai.
Aspek kemandirian dalam bidang keuangan diukur dengan desentralisasi
fiskal atau otonomi fiskal daerah, yang dapat diketahui melalui rasio kontribusi PAD
terhadap total APBD, serta rasio kontribusi DBH, DAU, dan DAK terhadap total
APBD. Tim peneliti FISIPOL UGM bekerjasama dengan Litbang Depdagri (dalam
Munir, et.al., 2004: 169) menentukan tolok ukur kemampuan daerah dilihat dari rasio
PAD terhadap total APBD
Pengukuran derajat desentralisasi fiskal (Derajat Otonomi Fiskal . DOF)
daerah kabupaten/kota menurut Reksohadiprodjo (dalam Munir et.al., 2004: 101)
dengan menggunakan rasio antara PAD dengan Total Penerimaan Daerah.
Menurut Mardiasmo (2004: 146), pemerintah diharapkan dapat meningkatkan
PAD untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pusat, sehingga
meningkatkan otonomi dan keleluasaan daerah (local discretion).

0 komentar:

Posting Komentar